Kecemasan atau anxiety merupakan salah satu bentuk emosi individu
yang berkenaan dengan adanya rasa terancam oleh sesuatu, biasanya dengan
objek ancaman yang tidak begitu jelas. Kecemasan dengan intensitas yang
wajar dapat dianggap memiliki nilai positif sebagai motivasi, tetapi
apabila intensitasnya sangat kuat dan bersifat negatif justru malah akan
menimbulkan kerugian dan dapat mengganggu terhadap keadaan fisik dan
psikis individu yang bersangkutan.
Adalah Sigmund Freud, sang pelopor Psikoanalisis yang banyak mengkaji
tentang kecemasan ini. Dalam kerangka teorinya, kecemasan dipandang
sebagai komponen utama dan memegang peranan penting dalam dinamika
kepribadian seorang individu.
Freud (Calvin S. Hall, 1993) membagi kecemasan ke dalam tiga tipe:
1. Kecemasan realistik yaitu rasa takut terhadap ancaman atau bahaya-bahaya nyata yang ada di dunia luar atau lingkungannya.
2. Kecemasan neurotik adalah rasa takut jangan-jangan insting-insting
(dorongan Id) akan lepas dari kendali dan menyebabkan dia berbuat
sesuatu yang bisa membuatnya dihukum. Kecemasan neurotik bukanlah
ketakutan terhadap insting-insting itu sendiri, melainkan ketakutan
terhadap hukuman yang akan menimpanya jika suatu insting dilepaskan.
Kecemasan neurotik berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya
pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua
maupun orang lain yang mempunyai otoritas, jika dia melakukan perbuatan
impulsif.
3. Kecemasan moral yaitu rasa takut terhadap suara hati (super ego).
Orang-orang yang memiliki super ego yang baik cenderung merasa bersalah
atau malu jika mereka berbuat atau berfikir sesuatu yang bertentangan
dengan moral. Sama halnya dengan kecemasan neurotik, kecemasan moral
juga berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya pada masa
kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua maupun
orang lain yang mempunyai otoritas jika dia melakukan perbuatan yang
melanggar norma
Selanjutnya, dikemukakan pula bahwa kecemasan yang tidak dapat
ditanggulangi dengan tindakan-tindakan yang efektif disebut traumatik,
yang akan menjadikan seseorang merasa tak berdaya, dan serba
kekanak-kanakan. Apabila ego tidak dapat menanggulangi kecemasan dengan
cara-cara rasional, maka ia akan kembali pada cara-cara yang tidak
realistik yang dikenal istilah mekanisme pertahanan diri (self defense
mechanism), seperti: represi, proyeksi, pembentukan reaksi, fiksasi dan
regresi. Semua bentuk mekanisme pertahanan diri tersebut memiliki
ciri-ciri umum yaitu: (1) mereka menyangkal, memalsukan atau
mendistorsikan kenyataan dan (2) mereka bekerja atau berbuat secara tak
sadar sehingga tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Kecemasan dapat dialami siapapun dan di mana pun, termasuk juga oleh
para siswa di sekolah. Kecemasan yang dialami siswa di sekolah bisa
berbentuk kecemasan realistik, neurotik atau kecemasan moral. Karena
kecemasan merupakan proses psikis yang sifatnya tidak tampak ke
permukaan maka untuk menentukan apakah seseorang siwa mengalami
kecemasan atau tidak, diperlukan penelaahan yang seksama, dengan
berusaha mengenali simptom atau gejala-gejalanya, beserta faktor-faktor
yang melatarbelangi dan mempengaruhinya. Kendati demikian, perlu dicatat
bahwa gejala-gejala kecemasan yang bisa diamati di permukaan hanyalah
sebagian kecil saja dari masalah yang sesungguhnya, ibarat gunung es di
lautan, yang apabila diselami lebih dalam mungkin akan ditemukan
persoalan-persoalan yang jauh lebih kompleks.
Di sekolah, banyak faktor-faktor pemicu timbulnya kecemasan pada diri
siswa. Target kurikulum yang terlalu tinggi, iklim pembelajaran yang
tidak kondusif, pemberian tugas yang sangat padat, serta sistem
penilaian ketat dan kurang adil dapat menjadi faktor penyebab timbulnya
kecemasan yang bersumber dari faktor kurikulum. Begitu juga, sikap dan
perlakuan guru yang kurang bersahabat, galak, judes dan kurang kompeten
merupakan sumber penyebab timbulnya kecemasan pada diri siswa yang
bersumber dari faktor guru. Penerapan disiplin sekolah yang ketat dan
lebih mengedepankan hukuman, iklim sekolah yang kurang nyaman, serta
sarana dan pra sarana belajar yang sangat terbatas juga merupakan
faktor-faktor pemicu terbentuknya kecemasan pada siswa.yang bersumber
dari faktor manajemen sekolah.
Menurut Sieber e.al. (1977) kecemasan dianggap sebagai salah satu
faktor penghambat dalam belajar yang dapat mengganggu kinerja
fungsi-fungsi kognitif seseorang, seperti dalam berkonsentrasi,
mengingat, pembentukan konsep dan pemecahan masalah. Pada tingkat kronis
dan akut, gejala kecemasan dapat berbentuk gangguan fisik (somatik),
seperti: gangguan pada saluran pencernaan, sering buang air, sakit
kepala, gangguan jantung, sesak di dada, gemetaran bahkan pingsan.
Mengingat dampak negatifnya terhadap pencapaian prestasi belajar dan
kesehatan fisik atau mental siswa, maka perlu ada upaya-upaya tertentu
untuk mencegah dan mengurangi kecemasan siswa di sekolah, diantaranya
dapat dilakukan melalui:
1. Menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran
dapat menyenangkan apabila bertolak dari potensi, minat dan kebutuhan
siswa. Oleh karena itu, strategi pembelajaran yang digunakan hendaknya
berpusat pada siswa, yang memungkinkan siswa untuk dapat mengkspresikan
diri dan dapat mengambil peran aktif dalam proses pembelajarannya.
2. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung guru seyogyanya dapat
mengembangkan �sense of humor� dirinya maupun para siswanya. Kendati
demikian, lelucon atau �joke� yang dilontarkan tetap harus berdasar pada
etika dan tidak memojokkan siswa.
3. Melakukan kegiatan selingan melalui berbagai atraksi �game� atau
�ice break� tertentu, terutama dilakukan pada saat suasana kelas sedang
tidak kondusif.. Dalam hal ini, keterampilan guru dalam mengembangkan
dinamika kelompok tampaknya sangat diperlukan.
4. Sewaktu-waktu ajaklah siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran
di luar kelas, sehingga dalam proses pembelajaran tidak selamanya siswa
harus terkurung di dalam kelas.
5. Memberikan materi dan tugas-tugas akademik dengan tingkat
kesulitan yang moderat. Dalam arti, tidak terlalu mudah karena akan
menyebabkan siswa menjadi cepat bosan dan kurang tertantang, tetapi
tidak juga terlalu sulit yang dapat menyebabkan siswa frustrasi.
6. Menggunakan pendekatan humanistik dalam pengelolaan kelas, dimana
siswa dapat mengembangkan pola hubungan yang akrab, ramah, toleran,
penuh kecintaan dan penghargaan, baik dengan guru maupun dengan sesama
siswa. Sedapat mungkin guru menghindari penggunaan reinforcement negatif
(hukuman) jika terjadi tindakan indisipliner pada siswanya.
7. Mengembangkan sistem penilaian yang menyenangkan, dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan penilaian diri (self
assessment) atas tugas dan pekerjaan yang telah dilakukannya. Pada saat
berlangsungnya pengujian, ciptakan situasi yang tidak mencekam, namun
dengan tetap menjaga ketertiban dan objektivitas. Berikanlah umpan balik
yang positif selama dan sesudah melaksanakan suatu asesmen atau
pengujian.
8. Di hadapan siswa, guru akan dipersepsi sebagai sosok pemegang
otoritas yang dapat memberikan hukuman. Oleh karena itu, guru seyogyanya
berupaya untuk menanamkan kesan positif dalam diri siswa, dengan hadir
sebagai sosok yang menyenangkan, ramah, cerdas, penuh empati dan dapat
diteladani, bukan menjadi sumber ketakutan.
9. Pengembangan menajemen sekolah yang memungkinkan tersedianya
sarana dan sarana pokok yang dibutuhkan untuk kepentingan pembelajaran
siswa, seperti ketersediaan alat tulis, tempat duduk, ruangan kelas dan
sebagainya. Di samping itu, ciptakanlah sekolah sebagai lingkungan yang
nyaman dan terbebas dari berbagai gangguan, terapkan disiplin sekolah
yang manusiawi serta hindari bentuk tindakan kekerasan fisik maupun
psikis di sekolah, baik yang dilakukan oleh guru, teman maupun
orang-orang yang berada di luar sekolah.
10. Mengoptimalkan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah.
Pelayanan bimbingan dan konseling dapat dijadikan sebagai kekuatan inti
di sekolah guna mencegah dan mengatasi kecemasan siswa Dalam hal ini,
ketersediaan konselor profesional di sekolah tampaknya menjadi mutlak
adanya.
Melalui upaya � upaya di atas diharapkan para siswa dapat terhindar
dari berbagai bentuk kecemasan dan mereka dapat tumbuh dan berkembang
menjadi individu yang sehat secara fisik maupun psikis, yang pada
gilirannya dapat menunjukkan prestasi belajar yang unggul.
Penulis : akhmad sudrajat
Wibsite : www.akhmadsudrajat.wordpress.com
0 comments:
Posting Komentar